Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 322551

Email

pba@iainmadura.ac.id

Ikhlas Adalah Ruh Segala Perbuatan

  • Diposting Oleh Admin Web PBA
  • Jumat, 5 Januari 2024
  • Dilihat 166 Kali
Bagikan ke

Oleh: Dr. Nurul Hadi, M.Pd.

Dikisahkan dalam sejarah, pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik salah satu khalifah bani Umawiyah tentara Islam terus bergerak ke dataran Asia Kecil menuju Konstantinopel ibu kota Romawi kala itu. Umat Islam berusaha untuk membuka pintu dakwah Islam di Eropa.

Panglima tentara Islam, Maslamah bin Abdul Malik berhasil mengepung benteng besar Romawi. Tetapi benteng tersebut terlalu sulit untuk ditembus tentara Islam karena tingginya tembok pagar dan tertutupnya semua celah masuk benteng. Posisi ini menempatkan tentara Romawi masih unggul dan mampu memukul mundur tentara Islam dari atas benteng, sehingga menyulitkan tentara Islam dan memporak-porandakan barisan Islam.

Di malam hari, ada satu orang tentara Islam yang melakukan ide mustahilnya. Dia mengendap dalam kegelapan malam sendirian hingga sampai pintu benteng, lalu dia terus menerus melubangi pintu benteng sampai berhasil membuat lubang pada pintu itu. Kemudian dia kembali ke kemah tentara tanpa memberitahukan keberhasilannya tersebut kepada siapapun.

Keesokan harinya, tentara Islam kembali berangkat untuk berperang seperti biasa. Lalu pahlawan itu masuk ke dalam benteng melalui lubang yang dia buat dan membuka pintu benteng sehingga tentara Islam berhasil merangsuk ke dalam dan menaiki pagar benteng. Dalam sekejab tentara Islam menguasai benteng dan tentara Romawi terkaget-kaget mendengar pekikan Takbir sudah berada di halaman mereka. Akhirnya kemenangan berhasil diraih tentara Islam.

Setelah peperangan selesai, Panglima Maslamah bin Abdul Malik mengumpulkan seluruh tentaranya dan berkata dengan suara yang sangat lantang: “Siapa di antara kalian yang telah membuat lubang di pintu benteng itu? Keluarlah akan kami berikan hadiah... tetapi tidak ada seorang pun yang keluar. Kemudian dia kembali bertanya dengan keras tetapi lagi-lagi tidak satu pun yang mengaku. Keesokan harinya sang panglima kembali bertanya tentang pahlawan yang telah membuat lubang itu seperti kemarin. Tetap saja, tidak ada yang mengaku. Di hari ketiga, sang panglima berdiri dan berkata: “Saya bersumpah, kepada yang membuat lubang untuk mendatangiku kapan saja di waktu malam atau pun siang”.

Setelah malam menjelma, di saat panglima duduk dalam tendanya, masuklah seorang laki-laki yang bercadar. Lalu Maslamah berkata: “Engkaukah pembuat lubang itu?” laki-laki itu berkata: “Yang membuat lubang ingin membebaskan panglimanya dari sumpah yang telah diucapkan. Tetapi dia mengajukan tiga persyaratan agar dipenuhi permintaannya: “apa itu?” laki-laki itu berkata: “jangan tanyakan namanya, jangan engkau buka wajahnya, dan jangan perintahkan untuk memberinya hadiah”. Maslamah berkata: “baiklah”. Laki-laki itu menghampiri sang panglima dan berkata: “akulah yang membuat lubang”. Lalu dia segera bergegas pergi dan tersembunyi di balik tenda-tenda tentara kaum muslimin. Lalu Maslamah bersujud dan berdoa: “Ya Allah kumpulkanlah aku di hari kiamat bersama laki-laki yang membuat lubang itu”.

Sang pembuat lubang ini telah memperlihatkan kepada kita sebuah contoh  nyata dalam kehidupan akan keikhlasan yang tertinggi dalam perbuatannya hanya semata-mata karena Allah Azza wajalla. Pahlawan yang sebenarnya adalah dia yang mau berkorban dengan dirinya sendiri untuk orang lain, dia memberikan model yang paling indah dalam perjuangan. Dia juga memberikan teladan yang riil tentang pengorbanan dan keberanian bukan karena haus pujian, tidak pula karena tamak kekayaan duniawi yang fana ini. Dia lakukan itu semua berdasarkan sebuah keyakinan yang kuat dalam perjuangan karena misi suci dan prinsip-prinsip yang agung, yaitu kekuatan iman kepada Allah swt. Kejjuran dan keikhlasan selalu bersama Allah swt dalam setiap perbuatan.

Imam Ibnu ‘Athaillah berkata dalam kiban “Al-Hikam”nya:

"الأعمال صور قائمة وأرواحها وجود سر الإخلاص فيها"

“Perbuatan itu banyak bentuknya, sedangkan jiwanya (ruhnya) adalah adanya rahasia ikhlas di dalamnya”.  (Nuha)