Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 322551

Email

pba@iainmadura.ac.id

Kemunculan Bahasa (Teorisasi Bahasa Tinjauan Historis)

  • Diposting Oleh Admin Web PBA
  • Jumat, 5 Januari 2024
  • Dilihat 196 Kali
Bagikan ke

Oleh: Dr. Nurul Hadi, M.Pd.

 

Bahasa, apapun bentuknya, merupakan kunci terpenting terbentuknya peradaban dan kemanusian di dunia. Ini terjadi ditopang oleh faktor-faktor lain yang menjadi pembentuk keduanya, seperti agama, kepercayaan dan tradisi. Kemunculan peradaban dan kemanusiaan menjadi bagian tak terpisahkan dari kemunculan bahasa itu sendiri. Tidak berlebihan, kalau dikatakan bahwa: "Tanpa bahasa tidak akan ada kemajuan, peradaban dan kemanusia". Karena peradaban yang sejatinya adalah hasil karya dan karsa manusia, tentu erat kaitannya dengan bahasa, mengingat eksistensi manusia itu sendiri (secara individual maupun komunal) identik dengan adanya bahasa masing-masing; baik sebagai alat komunikasi antar sesama ataupun sebagai media publikasi peradaban.

Sedangkan kemajuan yang bisa dijadikan standar dalam fase-fase berikutnya, hanya dapat dinilai dari sejauh mana manusia mengolah pikirannya untuk menghasilkan sebuah peradaban tersebut. Jadi, ketika manusia didefinisikan sebagai "Al-Hayawanu Al-Nathiqu" (hewan yang berpikir) sebagaimana telah dirumuskan oleh filosuf Prancis abad ke XVII (baca, R. Descartes), secara otomatis aktivitas berpikir pada manusia identik dengan bahasa yang digunakan.

Sedikitnya ada dua alasan mengapa manusia didefinisikan sebagai makhluk yang berpikir: pertama, kata al-natiq dalam definisi manusia tadi, yang selanjutnya diartikan dengan 'berpikir', pada dasarnya adalah kata yang bermakna 'berbicara'. Di mana unsur kata tersebut berasal dari (Ù† – Ø· - Ù‚) adalah unsur kata dalam bahasa Arab yang mempunyai makna berbicara (to speak), hal itu terjadi bukan tanpa alasan, sebab aktivitas berpikir pada manusia tidak bisa dipisahkan dari aktivitas berbahasanya dalam cakupan yang lebih luas. Kedua, bahasa dan pikiran merupakan keistimewaan yang hanya diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia, tidak pada binatang dan tumbuh-tumbuhan[1].

Hal ini diperkuat oleh analisis Michael C. Corballis tentang spesialisasi bahasa bagi manusia, mengatakan: "Bahasa, sebagaimana ditegaskan oleh Descartes, adalah pemberian Tuhan yang menjadi keistimewaan manusia dari makhluk lainnya”. Hal yang sama juga disampaikan oleh oleh F. Max Muller, ahli bahasa dari Oxford University, berkata: “Bahasa adalah pembatas kerajaan kita (manusia, red.), karena semua binatang tidak akan bisa mendapatkannya."[2]

Setelah kita yakin bahwa bahasa hanya milik manusia, lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana bahasa itu muncul dalam kehidupan manusia? Dan untuk menjawabnya, tentunya bukan sesuatu yang mudah, sebab ini terkait dengan sejarah manusia mulai dari Adam As sebagai bapak pertama manusia (abu al-basyar) serta perkembangan selanjutnya dalam komunitas masyarakat yang meniscayakan adanya interaksi sosial di dalamnya. Dengan demikian, secara otomatis kemunculan bahasa berjalan secara klindan dengan kemunculan komunitas sosial masyarakat sebagai kebutuhan interaksi. Sehingga sangat tepat kalau bahasa disebut sebagai salah satu unsur "gejala sosial". Maka atas dasar itulah, kemudian terdapat beberapa perbedaan radikal di antara para filosof dan ahli bahasa dalam melihat proses awal kemunculan bahasa di tengah komunitas sosial masyarakat tersebut. Namun, secara umum, penulis ingin menjabarkan teori-teori para ahli bahasa dan sikap mereka dalam memandang kemunculan bahasa tersebut sebagai gejala sosial.[3]

Dalam topik kemunculan Bahasa, terdapat beberapa teori klasik yang mengkaji hal ini. Berikut penulis paparkan teori tauqifi, teori muhakah dan teori muwadha’ah. Teori ini merupakan yang paling awal membincang masalah kemunculan Bahasa.

Teori Tauqifi (pemberian langsung dari Allah Swt.; berupa wahyu atau ilham). Teori ini berlandaskan pada teks dan logika, karena dalam teks Alquran sudah sangat jelas. Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 31: "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya," (QS Al-Baqarah [2]: 31).

Secara logika, manusia membutuhkan bahasa yang disepakati dan dipahami bersama dalam komunitasnya sebagai mahluk sosial untuk alat komunikasi antara yang satu dengan lainnya, maka jika masing-masing orang membuat "istilah kata" sendiri-sendiri, mustahil akan terdapat kesepakatan di dalamnya, sehingga akan membutuhkan istilah lain yang bisa disepakati dan dipahami bersama, dan begitu seterusnya hingga akan terjadi apa yang disebut dengan lingkaran setan (al-daur wa al-tasalsul) yang tidak ketahuan ujungnya. Bukankah Allah Swt. telah menegaskankan, bahwa segala sesuatu yang datangnya bukan dari Allah Swt. pasti akan terdapat perbedaan dan perselisihan yang banyak di dalamnya, "Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS Al-Nisa [4]: 82).

Teori ini diusung oleh Herakleitos (filosuf Yunani kuno), Ibnu Faris, Abu Ali Al-Farisi, Al-Akhfasy dan Ronald (filosuf Prancis).

Teori Muhakah (meniru), yaitu dengan asumsi bahwa bahasa muncul pertama kalinya dengan meniru bunyi yang didapatkan dari sebuah peristiwa atau tindakan pada saat melakukannya pertama kalinya, disesuaikan dengan penangkapan akal manusia pada saat itu, misalnya kata batuk diambil dari bunyik khuk..khuk, dan lain sebagainya.

Teori ini lebih dipilih oleh Abu Fatah Utsman Ibnu Jinny seorang linguis Bahasa Arab yang menjelaskan hal ini dalam bab Al-Qaul `Ala Al-Bina' pada kitab Al-Khashaish[4].

Teori Muwadha`ah (perumusan bahasa), teori ini kebalikan dari teori wahyu atau ilham sebelumnya (taufiqi). Dengan asumsi bahwa bahasa diciptakan atas dasar kesepakan bersama secara arbitrer. Karena manusia dalam sebuah komunitas sosial membutuhkan saling kesepahaman dalam menjalankan interaksinya, oleh karenanya kebutuhan untuk menciptakan istilah dan bahasa yang disepakati adalah sebuah keniscayaan sosial.

Teori ini dimunculkan oleh Demokritos Pratamaios (filosuf Yunani kuno), Abu Ali Al-Farisi, Abu Hasan Al-Akhfasy (ahli bahasa Arab), Adam Smith dan Deglade Stewart (ahli bahasa dari Eropa). Akan tetapi, menurut Prof. Dr. Abd Hamid Muhammad Abu Sikin, teori terahir ini tidak berlandaskan kepada argumentasi dari teks, historis maupun logika, karena pada dasarnya teori ini dirumuskan sebagai reaksi dari teori tauqifi sebelumnya.

Selain teori-teori lama di atas, sebetulnya masih banyak teori-teori moderen yang lain berbeda dengan teori-teori kemunculan bahasa ini, di antaranya adalah Teori Instink Bahasa (instinct of language), dalam teori ini, bahasa yang ada dikembalikan kepada daya tangkap hati individu manusia (instink) tentang makna dan bahasa yang sesuai dalam setiap aktivitasnya, seperti ketawa, menangis, sedih, senang dan lainnya.

Teori ini diajukan pertama kali oleh Max Muller (Jerman) dan Renan (Prancis). Sedangkan teori yang lainnya adalah Teori Perkembangan Bahasa (development of language), di mana bahasa yang diyakini muncul secara alami dari kecondongan hati manusia yang suci, terus berkembang secara gradual dan berangsur-angsur selama melakukan interaksi dalam masyarakat sosial.

Kekuatan teori ini ditopang oleh beberapa bukti perkembangan bahasa manusia mulai dari bahasa isyarat menjadi bunyi dengan segala bentuknya, lalu beralih pada kata-kata (al-kalimat) dan akhirnya berkembang menjadi kalimat (al-jumlah) dalam bentuknya yang lebih sempurna sampai menjadi bahasa manusia yang utuh. Teori ini nampaknya menjadi pilihan sebagian besar ahli bahasa moderen, karena diasumsikan lebih mendekati kebenaran. (Nuha)

 

 

[1] Abd Hamid Muhammad Abu Sikin, Al-Madkhal fi `Ilmu Al-Lughah; Al-Azhar University, 2003, Cairo, hlm. 35.

[2] Michael C. Corballis, Fi Nasy'ati Al-Lughah, terjemahan Mahmoud Majid Umar; `Alam Al-Ma'rifah, 2006, Kuwait, hlm. 37.

[3] Abd Hamid Muhammad Abu Sikin, Al-Madkhal fi `Ilmu Al-Lughah; Al-Azhar University, 2003, Cairo, hlm. 55);

[4] Abu Fatah Utsman Ibnu Jinny, Al-Khashaish, tahqiq Mohamad Ali Al-Najjar, Juz I, Maktabah Usrah, 1999, Cairo, hlm. 47