Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 322551

Email

pba@iainmadura.ac.id

Digitalisasi Bahasa Arab dan Dampaknya Secara Akademis

  • Diposting Oleh Admin Web PBA
  • Selasa, 23 Januari 2024
  • Dilihat 404 Kali
Bagikan ke

Oleh: Dr. Nurul Hadi, M.Pd.

Kali ini, saya diminta untuk menyampaikan tema “Digitalisasi Bahasa Arab”. Materi ini disampaikan kepada Mahasaiswa Baru Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA) Darul Ulum Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar. Kegiatan pengenalam kampus bagi mahasiswa baru STIBA disebut ATA (Ayyamu al-Ta’aruf). Kegiatan ini menurut saya sangat penting, sebagai media transisi antara dunia sebelum perguruan tinggi dan dunia kampus. Dalam beberapa hari, mahasiswa baru dikenalkan pada dunia baru pendidikan yang akan mereka hadapi. Ada banyak perbedaan yang sangat mendasar dalam sistem pendidikan di kampus dengan sistem pendidikan yang selama ini mereka tempuh di sekolah. Selain pengenalan lingkungan kampus, mahasiswa juga diberikan bekal tentang tantangan pemikiran dan isu-isu di bidang kajian yang akan mereka hadapi.

Tema ini “Digitalisasi Bahasa Arab”, sepertinya dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa tentang isu-isu penting kajian bahasa Arab mutakhir. Ini menjadi tantangan bagi mahasiswa STIBA, untuk juga mengenal perkembangan kajian Bahasa Arab ini. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa memiliki gambaran objek kajian yang lebih luas. Kajian bahasa Arab bukan hanya terkait dengan wacana klasik dalam kitab-kitab turats, tetapi juga tekait perkembangan kajian Bahasa Arab Modern.

Kajian Bahasa Arab klasik, biasanya akan mendalami bidang studi bahasa Arab dari berbagai sumber kitab turats, seperti ilmu-ilmu qawaid: Nahwu, Shorrof, Balaghah, Arudh wal Qawafi, imla wal khath dan sebagainya. Atau ilmu sastra, seperti Tarikh al-Adab, Al-Adab al-Muqaran, Al-Nushush al-Adabiyah, naqd al-adab dan lainnya. Atau ilmu lisaniyah al-qadimah, seperti ilmu al-ma’ajim, ilmu al-dilalah dan lainnya.

Yang dimaksud dengan kitab Turats adalah kitab-kitab karya ulama terdahulu. Sebagaimana kita ketahui, kodifikasi ilmu Bahasa Arab telah terjadi sejak lama. Dr. Syauqi Dhaif, menyebutkan bahwa kodifikasi bahasa Arab telah ditemukan 1,5 abad sebelum masa jahiliyah. Setelah Islam datang, pengebangan keilmuan bahasa Arab semakin baik. Ilmu Nahwu misalnya, mulai menjadi disiplin ilmu secara mandiri sejak abak pertama hijriyah. Ilmu-ilmu lain terus berkembang, seperti Balaghah, ilmu arudh wal qawafi, ilmu al-ma’ajim dan naqd al-adab.

Bisa dikatakan, bahwa kodifikasi ilmu bahasa Arab klasik sudah sangat matang. Belakangan mulai muncul linguistik yang sesungguhnya juga telah dilakukan oleh ulama bahasa Arab sebelumnya. Hanya saja, pendekatan dan perumusan teorinya baru muncul kemudian. Seperti teori “linguistik modern” Ferdinan D Saussure, atau teori “filologi” yang dibangun oleh Friedrich August Wolf, atau teori “filologi perbandingan” karya Frans Bopp dan lainnya.

Lalu apa yang dimaksud dengan “digitalisasi” bahasa Arab? Ada tiga istilah penting yang terkait masalah ini, yaitu: “digitisasi”, “digitalisasi” dan “transformasi digital”. Istilah ini populer dalam bidang teknologi dan bisnis. Sebuah situs usaha bidang teknologi bisnis phintraco.com menjelaskan perbedaan ketiga istilah ini: “Digitisasi adalah proses mengubah informasi non-digital menjadi digital. Jika sebuah perusahaan menggunakan informasi digital tersebut untuk meningkatkan bisnis, menghasilkan pendapatan, atau menyederhanakan beberapa proses bisnis, maka itu disebut digitalisasi. Hasil dari proses digitisasi dan digitalisasi disebut transformasi digital”.

Lalu bagaimana dengan “digitalisasi bahasa Arab?”. Maka, meminjam penjelasan phintraco.com di atas, digitalisasi bahasa Arab berarti “penggunaan” informasi digital dalam bidang bahasa Arab; baik bidang bahasa, sastra maupun pengajaran bahasa Arab. 

Di era yang serba digital ini, karya bahasa Arab juga sudah banyak yang masuk tahap digitisasi. Kitab-kitab klasik dapat dengan mudah kita temukan di internet secara gratis maupun berbayar. Layanan gratis dapat diakses, misalnya di laman: www.waqfeya.net, www.noor-book.com,  www.foulabook.com, dan laman lainnya.

Selain di website yang menyajikan dokumen buku, hasil penelitian ilmiah kontemporer dapat diakses dengan mudah di e-jounal yang sudah diarsip atau terindeks dalam banyak situs nasional, maupun internasional, seperti Sinta (di bawah lembega riset nasional): https://sinta.ristekbrin.go.id, Garuda: https://garuda.ristekbrin.go.id, Moraref (di bawah kementerian agama Republik Indonesia): https://moraref.kemenag.go.id, DOAJ: https://doaj.org, Google Scholar: https://scholar.google.co.id, ACI (Asean): https://asean-cites.org, Crossref (Internasional): https://search.crossref.org, Dimensions: https://app.dimensions.ai, Scopus (internasional): https://www.scopus.com, dan lain-lainnya.

Dalam dunia akademik saat ini, nama scopus begitu populer dan menjadi hantu karir penelitian ilmiah para dosen. Sebenarnya apa itu scopus?

Disebutkan dalam laman trisakti.ac.id: “SCOPUS adalah layanan indeksasi dan penyedia database jurnal terbesar saat ini. Layanan SCOPUS tersebut berada di bawah naungan Elsevier, sebuah organisasi atau perusahaan penerbit publikasi ilmiah internasional yang kini berbasis di Amsterdam, Belanda yang berdiri sejak 1880. Saat ini SCOPUS telah mengindeks lebih dari 22.000 judul artikel jurnal dari 5000 lebih penerbit. Sekitar 20.000 artikel yang terindeks merupakan artikel peer-reviewed. Selain SCOPUS, ada beberapa layanan indeksasi jurnal lain. Jurnal Indonesia yang telah terindeks SCOPUS sering dianggap sebagai jurnal yang berkualitas tinggi dan memiliki reputasi internasional.”

Disebut sebagai hantu, karena banyak karir penelitian terganjal indeksasi scopus ini. Karena hasil penelitian yang dipublikasikan harus termuat dalam jurnal internasional yang terindeks scopus. Sehingga, banyak sekali para peneliti yang tidak mulus karirnya karena syarat indeksasi scopus ini. Barangkali maksudnya baik, agar hasil penelitian benar-benar layak dan profesional. Tetapi, komirsialisasi scopus akhirnya tidak terelakkan.

Selain, dokumen ilmiah berupa buku dan jurnal ilmiah, digitalisasi Bahasa Arab juga dapat ditemukan dalam bentuk media audio maupun visual. Dulu, untuk dapat mendengan suara native speaker orang Arab sangat sulit sekali didapatkan. Saat ini, semua dapat kita temukan dalam media sosial, seperti: www.youtube.com, www.vidio.com, www.tiktok.com, www.bigo.tv, dan lain sebagainya.

Yang terpenting dari digitalisasi bahasa Arab itu adalah bagaimana memanfaatkan data digital yang sangat mudah diakses untuk kepentingan peningkatan kualitas keilmuan kita di bidang bahasa Arab.

Deretan laman wibsite yang berjejer itu bukan hanya menjadi data tapi dijadikan sumber pengetahuan baru yang maksimum dan sungguh-sungguh. Maksimum artinya, seberapa banyak sumber informasi yang bisa kita akses, sebanyak itulah kita pakai dan ambil manfaat darinya.  Dengan sungguh-sungguh artinya, informasi yang sudah dihimpun dinternalisasikan dalam diri kita sehingga menjadi kekuatan yang benar-benar bermanfaat.

Dengan “digitalisasi Bahasa Arab” ini, selanjutnya akan terbentuk transformasi digital. Proses belajar dan pembelajaran akhirnya tidak lagi bergantung kepada wujud guru secara fisik. Kesadaran dalam menggunakan data dan informasi digital menjadi sebuah kebiasaan baru. Pembelajaran tidak harus tatap-muka, bisa dilakukan secara virtual. Membaca buku, tidak harus membuka katalog manual, tapi dengan cepat dapat mengaksesnya secara paperless. Praktik muhadatsah tidak harus dengan jaulah usbu’iyah sebagaimana kegiatan Markaz Bahasa Arab di pondok, tetapi bisa dengan videocall via WhatsApp, Facebook dan lainnya.

Apa dampak dari digitalisasi Bahasa Arab ini? Secara umum, setiap tindakan pasti mempunyai dampak; baik bersifat positif maupun negatif. Pada digitalisasi bahasa Arab ini, tentu akan berdampak terhadap penggunanya. Secara akademis, bagi mahasiswa dan pengembangan keilmuan, dampak digitalisasi ini terbagi dua: positif dan negatif.

Dampak positif dari digitalisasi adalah pertama kemudahan akses dalam mendapatkan informasi dan data. Informasi apapun sangat mudah didapatkan, dengan biaya yang relatif murah. Kedua adalah peningkatan kuantitas karya atau data bahasa Arab.

Sedangkan dampak negatif dari digitalisasi ini adalah penurunan nilai kualitas keilmuan, terutama dari sisi keberkahan ilmu. Kemudahan mendapatkan ilmu tanpa jerih payah yang berarti sering dianggap ilmu yang didapatkan itu tidak begitu berharga. Sehingga kita kadang kurang menghargai ilmu dengan semestinya.

Kedua, digitalisasi ini kadang menyesatkan. Informasi yang didapat dari internet tanpa seorang guru menyebabkan kita kadang melaju tanpa arah yang benar. Contoh kecil saja penggunaan google map untuk arah yang ingin kita tuju. Karena kita tidak pernah tahu tempat yang akan dituju dan tidak ada guid (penunjuk arah) yang berpengalaman, maka kadang kita diarahkan oleh map menggunakan jalur yang salah yang malah membahayakan kita. Padahal, ada jalur yang lebih baik dan lebih aman yang dapat kita lalui seandainya kita didampingi oleh seorang guru atau guid (mursyid). Walahu a’lam. Nuha.